Dalamvideo Gus Faiz terdengar suara Mbah Maimun Zubair ketika berbicara di depan santri-santrinya dan mengungkapkan ayah, ibu, hingga kakeknya, meninggal di hari Selasa. "Menurut riwayat Pondok yang insyaallah pada pertama kali tahun 1800-an didirikan, Pondok ini kalau hari Selasa dibuat hari libur ngaji. LumajangNetwork- Berikut ini naskah khutbah Jumat dengan tema peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei. Adapun khutbah Jumat dengan tema Hari Kebangkitan Nasional ini berisi ajakan untuk kembali menata tujuan hidup yang selama ini terabaikan.. Naskah khutbah Jumat ini sangat tepat disampaikan ketika Hari Kebangkitan Nasional, untuk memberikan semangat dan Pertemuanbersama putra KH Maimoen Zubair itu berlangsung tertutup.. Setelah sekitar 15 menit, Anis menuju aula pondok menyapa para santri. Di sana juga hadir para keluarga Almarhum KH Maimoen Zubair.. Anies bertanya kepada para santri tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan dipondok sehari-hari. "Adik-adik ini bangun sebelum subuh. Vay Tiền Nhanh. Nama Maimoen Zubair terkenal di seantaro nusantara sebagai seorang bijak bestari. Beliau akrab disapa Mbah Mun, begitu santri dan masyarakat umum memanggilnya. Setiap tutur kata dan tindakannya senantiasa menjadi panutan bagi santri dan pecintanya. Mbah Mun selalu menyempatkan mengaji untuk santri-santrinya. Terkadang kondisi yang rapuh di usia senjanya tak bisa menyurutkan istiqomahnya dalam mengajar dan mendidik umat. Di sela-sela rutinitas mengaji, beliau tak jarang bahkan seringkali menyempatkan diri menerima tamu-tamu dari berbagai kalangan. Semua diperlakukan sama, dengan penuh penghormatan dan kearifan. Bisa dipastikan, usai mendengarkan wejangan atau nasihat dari Mbah Mun, banyak tamu yang merasa mendapatkan pencerahan atau oase di tengah kebimbangan menjalani kehidupan. Tamu beliau setiap hari berdatangan silih berganti. Jarang sekali menjalani hari-hari tanpa kedatangan tamu. Meski sekadar perkara remeh yang ingin disampaikan oleh tamu, Mbah Mun tak pernah memandang sebelah mata. Semua yang datang sowan didoakan dengan tulus, semoga mendapatkan keberkahan. Mbah Maimun sejatinya bukan hanya membekas di hati para santri dan kalangan pesantren belaka. Para penganut lintas agama tak sedikit yang menyanjungnya dan merasa akrab dengan beliau. Terkadang ada tamu nonmuslim yang datang, sekadar meminta petuah, beliau tetap berkenan menerima dan memberikan wejangan yang dibutuhkan. Saya pernah suatu ketika melihat ada seorang keturunan tionghoa bertamu kepada Mbah Mun. Sepertinya kalau tidak salah tamu tersebut nonmuslim. Tamu tersebut adalah seorang perempuan dengan pakaian yang mungkin bisa dianggap tidak syar’i. Tapi setelah selesai bertamu, tampak raut wajahnya berbinar seakan mendapatkan sesuatu yang mencerahkan. Tidak ada yang meragukan kealiman Mbah Mun. Sanad keilmuan beliau bersambung pada guru-guru mulia yang bertalian langsung sampai kepada Kanjeng Nabi. Banyak bukti yang telah tercatat atau terekam dalam berbagai media. Mbah Mun banyak menulis buku-buku keislaman yang sangat mengagumkan. Di dalamnya bisa ditemui keterangan guru-gurunya. Selain itu pituturnya dalam berbagai momen terekam dalam dunia digital dan tersebar dibanyak media. Dalam banyak keterangan yang disampaikan Mbah Mun, kekayaan khazanah Islam begitu luas dan menjangkau banyak hal. Tentang sosial, ekonomi, budaya sampai tentang nosianalisme. Maka, tak jarang seringkali di sela-sela pengajiannya beliau mengaitkan keterangan-keterangan yang disampaikan tentang Islam yang selalu selaras dengan mencintai tanah air. Jiwa nasionalisme tampak begitu nyata dalam kata-kata dan tindak tanduknya. Mungkin Mbah Mun tak pernah mengenyam pendidikan formal sedikitpun, tapi tak ada yang meragukan keluasan pandangannya tentang nasionalisme. Dalam banyak kesempatan, beliau menyinggung hari lahirnya yang bertepatan dengan deklarasi sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Beliau menegaskan kecintaannya pada tanah air. Baginya Indonesia adalah anugerah yang patut disyukuri dan dijaga bersama. Tak jarang beliau melantangkan sumpah pemuda. Satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang terbingkai dalam Indonesia. Beliau tak segan menyanyikan lagu nasional; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita, Indonesia pasti jaya untuk selama-lamanya. Bahkan demi menyanyikan Indonesia Raya dalam suatu acara penting, beliau tegar berdiri meski seharusnya tetap duduk di kursi roda. Tak terasa saya merasa haru dan terpompa untuk terus mencintai Indonesia. Banyak kenangan tentang Mbah Mun yang sudah ditulis oleh para santri dan orang-orang yang mencintainya. Tersebar di berbagai media. Sejak kabar wafatnya Mbah Mun tersebar, banyak tulisan yang menceritakan hal-hal berkesan dan membekas. Baik pengalaman pribadi maupun catatan-catatan nasihat yang sempat disampaikan Mbah Mun. Salah satu yang sangat mengesankan adalah tentang anjuran agar tidak mudah menuduh orang lain kafir dan anjuran agar dalam mengajar tak perlu memaksakan diri membuat santri pintar, tapi diniatkan dengan tulus menyampaikan ilmu, sedangkan selebihnya diserahkan kepada Tuhan bagaimana nantinya santri yang diajar. Banyak pesan-pesan yang lebih mengesankan lainnya yang dengan mudah bisa dicari dalam banyak media sosial. Saya ingin mencoba berbagi kesan dalam mengiringi berpulangnya Mbah Mun. Dalam kitab Ta’lim Muta’allim dijelaskan bahwa guru ideal itu mencakup tiga kriteria; alim, wira’i dan sepuh. Tanpa penjelasan lebih lanjut tiga kriteria tersebut bisa kita pahami sebagaimana dulu mengaji di Pesantren. Mbah Mun mencakup ketiga kriteria tersebut tanpa sedikitpun keraguan. Saya yakin semua orang akan bersepakat, baik orang yang mengenal beliau secara langsung maupun tidak. Sempat mencecap ilmu beliau dua tahun lalu 2017, saat ngaji posoan adalah momen yang sangat mengesankan. Saat itu kitab yang dikaji Mbah Mun adalah Ithafu Ahlil Islam bi Khususiyatis Siyam libni Hajar Al-Haitamy. Kitab ini dikaji ba’da Subuh dan ba’da Isya’. Ba’da Subuh kira-kira dimulai jam setengah tujuh sampai menjelang dzuhur jam sebelas atau sekitar jam setengah duabelas siang. Sedangkan ba’da Isya’ dimulai usai merampungkan shalat terawih kira-kira jam delapan sampai menjelang larut malam sekitar jam setengah duabelas malam. Mungkin waktu yang begitu lama, duduk 4-5 jam tanpa istirahat, bagi beliau adalah hal biasa, tapi bagi santri amatir seperti saya duduk sambil konsentrasi menyimak dan mencatat hal-hal penting dalam kitab yang dibaca adalah hal yang sangat melelahkan dan terkadang tak sadarkan diri tertidur pulas alias ndlosor, sampai tiba-tiba pengajian usai. Penjelasan-penjelasan yang disampaikan begitu gamblang dan sangat mencerahkan. Usia yang sudah cukup uzur itu tak berpengaruh pada suaranya yang masih sangat jelas. Saya tak bisa membayangkan bagaimana proses belajar beliau semasa muda, sementara di masa senjanya saja masih begitu kuat berjam-jam menelaah kitab dengan sangat teliti dan cermat. Ingatan dan pandangan beliau yang begitu kuat dan berkarakter khas nasionalis seringkali memukau. Bak lautan tak bertepi, ilmu beliau sangatlah luas. Selalu ada hal yang mengagumkan dalam penyampaiannya. Kealiman beliau benar-benar tak bisa diragukan sama sekali. Setiap kali mengaji, -meski seringkali terkapar-, selalu ada inspirasi dalam keterangan yang disampaikan. Saya meyakini masa muda beliau tak pernah disia-siakan. Sanad ilmu yang didapat dari berbagai guru adalah bukti kesungguhannya dalam menimba ilmu sejak dulu. Karena itu, tak heran jika keilmuannya menyegara atau begitu luas, seluas samudera tak bertepi. Tapi hal itu tidak bisa didapat secara instan. Mbah Mun bertahun-tahun menimba ilmu di berbagai pesantren dengan pelbagai guru yang mumpuni. Keluasan ilmu yang sangat masyhur itu tak lantas membuat Mbah Maimoen cenderung eksklusif dalam menyikapi berbagai persoalan. Dari persoalan masyarakat secara umum sampai soal negara dan bangsa, Mbah Mun selalu menjadi rujukan. Dalam masalah Pilpres misalnya, Mbah Mun selalu mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Siapapun yang terpilih harus bisa menjadi pengayom masyarakat. Kepedulian Mbah Mun terhadap nasib negara dan bangsa sangat besar, hingga meski di usia senjanya itu masih bersedia untuk meluangkan waktu memberikan solusi mengenai persoalan-persoalan politik yang dihadapi negara. Beliau senantiasa mengedepankan perdamaian dan persatuan bangsa. Politik yang diajarkan bukanlah politik praktis, melainkan politik kebangsaan tingkat tinggi. Mbah Maimoen adalah sosok ulama’ kharismatik nasionalis yang memandang siapa dan apapun dengan pandangan kasih sayang. Yandhurul ummah bi’ainir rahmah. Sehingga siapapun dan apapun yang dihadapi akan selalu merasakan kedamaian dan mendapatkan pencerahan yang sangat mengesankan. Tak ada kebencian sedikitpun yang terpancar. Hanya kasih sayang dan cinta yang tulus bagi bangsa dan negara yang selalu tampak dari sosok Maimoen Zubair. Memandang wajahnya yang teduh itu seakan persoalan-persoalan kehidupan yang membuat penat dan menggelisahkan, sirna terkena pancarannya. Cinta dan ilmunya ibarat lautan tak bertepi. Tapi kini Tuhan telah mengambilnya. Kembali ke haribaan-Nya. Saya yakin beliau telah berpulang ke rahmatuLlah dengan penuh senyuman. Sebagaimana senyuman yang senantiasa terpancar saat memberikan wejangan. Selamat jalan Kiai…Semoga kelak panjenengan perkenankan kami sowan bersama, menghadap kanjeng Nabi. Aamiin. Berpulangnya Mbah Moen menghadap Sang Pencipta menyisakan duka yang sangat mendalam bagi kita semua. Gurat kesedihan, isak tangis dan do’a dari jutaan umat manusia mengiringi kepergian beliau menuju kekasihnya. Ribuan pentakziah masih terus berdatangan ke rumah duka. Di beranda lini masa, ucapan belasungkawa, foto kenangan, cerita, dan obituari Mbah Moen terus mengalir, ditulis oleh banyak orang, memotret kehidupan beliau dari berbagai sudut pandang. Semua merasa kehilangan atas wafatnya kyai sepuh yang sangat kharismatik dan menyejukkan ini. Entah mengapa, saya sendiri juga merasakan kesedihan yang mendalam. Beberapa kali mbrebes mili jika mengingat sosok Mbah Moen, seolah kehilangan orang yang sangat dekat sekali. Padahal saya bukan santri Al Anwar Sarang. Interaksi dengan Mbah Moen paling banter hanya menyimak ceramah beliau dari kejauhan. Beberapa kesempatan ingin mencium tangan Mbah Moen, mungkin hanya sekali yang kesampaian. Selebihnya, ketika sudah mendekat selalu saja terdorong oleh para Banser atau santri pengawal Mbah Moen. Terdesak oleh tubuh-tubuh yang lebih besar, kemudian terpental dan hilang di tengah kerumunan. Keinginan untuk sowan Mbah Moen memang selalu muncul, tapi tak pernah benar-benar terlaksana. Bahkan ketika abah, ibu, dan saudara saya sowan Mbah Moen dua bulan kemarin, saya juga tidak bisa ikut. Di satu sisi ada semacam keyakinan bahwa suatu saat pasti saya akan bisa sowan Mbah Moen sendiri. Keyakinan bodoh yang akhirnya benar-benar saya sesali. Ah, seandainya waktu bisa diputar kembali. Mbah Moen adalah ulama kelas dunia. Kedalaman dan keluasan ilmunya, keagungan akhlaknya, serta pergaulannya yang luas melintasi sekat-sekat perbedaan, menghadirkan teladan bagi kita semua. Nasehat dan pesan-pesan Mbah Moen sangat sederhana, tetapi berhasil membidik pusat kesadaran manusia. Nasehat yang hanya bisa lahir dari jiwa suci, tulus, dan mulia. Ada satu nasehat Mbah Moen yang sangat halus tetapi berhasil menampar kesombongan saya sebagai seorang guru. Nasehat ini awalnya saya peroleh dari media sosial, tetapi kemudian juga sering saya dengar dari cerita beberapa santri Mbah Moen sendiri. “Jadi guru itu tidak usah punya niat pengen bikin murid pintar. Nanti kamu akan marah-marah jika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik dengan baik. Masalah muridnya nanti pintar atau tidak, serahkan saja pada Allah. Didoakan saja terus menerus agat dapat hidayah”. Mak jleb. Nasehat ini langsung menusuk batin saya sebagai guru. Duh Gusti, berarti selama ini saya adalah guru yang sangat angkuh dan merasa diri yang paling benar. Saya tidak peduli siswa saya siapa, seberapa luas pengetahuannya, seperti apa jenis kecerdasannya, bagaimana latar belakang keluarganya, kondisi ekonominya, kehidupan sosialnya, dan sebagainya. Semua saya tuntut untuk memenuhi standar yang saya tetapkan. Pokoknya semua harus pandai, harus bisa. Saya alpa memasuki dunia siswa dan mengambil posisi jika berada seperti mereka. Padahal tugas guru hanya menyampaikan ilmu, mendidik dan mengajar dengan sebaik-baiknya. Masalah berhasil atau tidak, itu urusan yang Maha Kuasa. Ini adalah prinsip praktek pendidikan di pesantren. Mengapa justru saya lupa? Sebodoh dan seburuk apapun seorang santri, tak pernah sekalipun para kiai mengeluh apalagi memarahi. Para kiai tetap mendidik santri dengan sepenuh hati, mendoakan mereka di tengah malam buta, agar dibukakan pintu hidayah dari Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, saya jarang sekali mengirim fatihah untuk para siswa. Bahkan sering ngomel jika mendapati siswa malas belajar, enggan membaca, tak pernah bertanya, atau menjawab seenaknya jika ditanya. Belum lagi jika sering mengerjakan tugas ala kadarnya. Bagi saya, semua siswa harus pandai, apapun kondisinya. Saya membandingkan dengan saya sendiri. Meski orang tua hidup pas-pasan, Abah saya seorang guru, sehingga sejak kecil mulai dikenalkan dengan buku. Ini jelas berbeda dengan latar belakang para siswa yang saya hadapi. Rupanya, saya hanya peduli dengan isi otak mereka, tetapi sering abai menyentuh hati mereka. Saya seringkali ingin melihat hasil akhir tetapi kurang sabar dengan prosesnya. Sering menyalahkan siswa, tetapi enggan meningkatkan kualitas dan kompetensi diri sebagai guru. Mengajar dengan persiapan seadanya, metode pembelajaran ala kadarnya, membimbing dengan tidak semestinya, dan kurang peduli terhadap kebutuhan siswa. Sejak saat itu saya sangat menyesal, bahkan penyesalan itu masih saya rasakan sampai sekarang. Saya mulai kembali belajar bagaimana menyelami kehidupan para siswa. Memang, saya belum sepenuhnya berhasil, bahkan berulang kali masih melakukan kesalahan, tetapi nasehat Mbah Moen selalu menyadarkan saya kembali. Benar kata para bijak bestari bahwa sejatinya tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah anak yang belum mengerti. Tidak ada pula anak yang gagal, yang ada adalah para orang tua dan guru yang kurang sabar dalam mendidik dan mengajar. Terima kasih Mbah Moen atas nasehat panjenengan yang begitu membekas di hati. Kini, Mbah Moen telah pergi dengan damai, meninggalkan teladan yang seharusnya berusaha kita ikuti, meninggalkan warisan ilmu yang semestinya terus kita pelajari. Mbah Moen telah pergi menghadap Sang Rabbul Izzati, meninggalkan kita semua yang belum selesai dengan urusan diri sendiri. Lahul Faatihah… Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. KH Maimun Zubair adalah seorang ulama ahli fikih, yang berasal dari daerah Rembang tepatnya di Sarang. Masyarakat Rembang biasanya memanggil KH Maimun Zubair dengan sebutan Mbah Moen Mun. Mbah Moen menjadi rujukan para Ulama Indonesia di bidang fiqih. Beliau adalah seorang ulama yang alim, faqih dan menjadi idola pada kalangan anak muda terutama para santri karena kata mutiara dari mbah Moen dapat menjadi penggerak atau gertakan untuk semua umat islam. KH Maimun Zubair lahir pada 28 Oktober 1928 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah putra pertama Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Ibu dari Beliau sendiri adalah putri dari Kiai Ahmad bin Syu'aib, pendiri dari pondok pesantren al - Anwar. Pondok pesantren Al-Anwar saat ini dipimpin oleh beliau sendiri, bahkan saat ini juga terdapat MTS dan MA Al-Anwar. Di tahun 2008, mbah Moen mendirikan pondok pesantren Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang diasuh oleh KH Ubab Maimun putranya. Biasanya, di bulan Ramadhan beliau bisa berjam-jam duduk tanpa henti untuk membacakan kitab, semua waktu beliau gunakan hanya mengutamakan untuk ilmu dan para penuntutnya. Yaitu dengan mengajarkan kepada para santrinya. Meskipun Beliau baru pulang dari perjalan sejauh apapun dan keadaan Beliau yang sudah sangat sepuh, Beliau tetap meluangkan waktu untuk mengajar santri-santrinya. Bahkan, beliau sempat tertidur beberapa detik ditengah-tengah membacakan kitab untuk antri-santrinya. Keikhlasan beliau yang begitu besar dalam mengajar dan mendidik para santri tanpa mengharap apapun. Selain menjadi pengasuh pesantrean Al-Anwar, beliau juga menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan. PPP menjadi pilihan Beliau untuk menyalurkan aspirasi umat lewat politik. Beliau juga aktif dalam kepengurusan NU. Pada 1985 - 1990, Beliau menjabat sebagai Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Moen menutup usia di umur 90 tahun tepatnya pada 6/8/2019, beliau wafat di Makkah bertepatan saat beliau menunaikan ibadah haji. Mbah Moen dimakamkan di Ma'la, Mekkah. Makam beliau berdekatan dengan makam guru beliau, Sayid Alawi al-Maliki al-Hasani dan makam istri Rasulullah saw, Sayyidah Beliau, tentu menjadi suatu peristiwa tak terlupakan bagi umat Islam, terutama di Indonesia. Karena seluruh umat islam di Indonesia kehilangan seorang Guru Besar umat muslim, karena Beliau dikenal sebagai sosok yang patut untuk diteladani, karena sifat dan sikap kebajikannya. Beliau adalah orang yang sabar, penyayang, santun, tegas, selalu bersyukur, rendah hati, dan sebagainya. Beliau juga sering memberikan kata - kata mutiara untuk para penuntut ilmu, yaitu para santrinya. Beikut beberapa kata kata mutiara mbah Moen untuk para santrinya;"Ora kabeh wong pinter kuwi bener, ora kabeh wong bener kuwi pinter" yang berarti tidak semua orang pintar itu benar, tidak semua orang benar itu pintar. Daripada menjadi orang pintar tapi tidak benar lebih baik menjadi orang benar walaupun tidak pintar."Ojo mikir engko dadi opo, sing penting sinau sing sergep" Jangan mikir kelak akan jadi apa yang penting belajar yang giat. Kata-kata itu yang selalu disampaikan Mbah Moen kepada santri-santrinya. Lihat Humaniora Selengkapnya

kata kata kh maimun zubair tentang santri